Negeri Anti Kritik


Itu mungkin julukan yang pas dengan situasi bangsa ini. Bukan tanpa alasan, sebutan tersebut di alamatkan kepada negeri tercinta kita karena banyaknya pengkritik pemerintah yang ditangkap atau bahkan hilang jejak sekalipun. Ini terjadi semenjak adanya UU ITE. Namun jauh sebelum itu hal tersebut sudah terjadi saat orde baru.

Ada banyak kasus pengkritik pemerintah yang ditangkap aparat kepolisian dengan alasan pelanggaran UU ITE dengan pasal pencemaran nama baik. Pasal pencemaran nama baik banyak menjadi boomerang dan justru malah memasung kebebasan menyatakan pendapat terutama kritik kepada pemerintah.


Kita bisa search di google mengenai pengkritik pemerintah yang ditangkap. Mulai dari Mahasiswa di Solo ditangkap karena diduga melangar UU ITE dengan menyebut “Jokowi Presiden laknat” dalam akun instagramnya. Menurutnya hal itu karena Jokowi lebih mementingkan investasi daripada kesejahteraan rakyat. Selain itu ada kasus penangkapan jurnalis sekaligus aktivis HAM yaitu Dhandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu. Dhandy ditangkap karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian sedangkan Ananda dituduh mendanai demo mahasiswa September 2019 lalu. Belum lagi ada beberapa mahasiswa yang masih ditahan polisi saat akan berangkat demo. Masih banyak kasus lagi tentang pembungkaman kritik terhadap pemerintah.

Baru-baru ini muncul lagi kasus yang menambah panjang daftar matinya kebebasasn berpendapat terhadap pemerintah. Ravio Patra seorang peneliti kebijakan publik mendadak hilang kontak setelah sebelumnya kosnya didatangi orang berbadan besar dan sangar. Sebelumnya ia menyuarakan kritik terhadap stafsus presiden Billy Mambrasar dalam cuitannya ditwiiter. Ravio menganggap Billy terlibat mega proyek pemerintah yang berada di Papua. Sebelumnya ia juga mengkritik pemerintah tentang penanganan Covid-19 dan tulisannya dimuat tirto.id. Sebelum ditangkap, Ravio juga memberi klarifikasi bahwa Whatsappnya tidak bisa diakses, dan diketahui akunnya telah diretas dengan mengirimkan broadcast untuk melakukan penjarahan besar-besaran pada 30 April nanti. Hal ini menjadi alasan ditangkapnya Ravio meski belum ada informasi valid tentang kebradaannya.

Ada apa dengan pemerintah? Tak ada asap jika tak ada api. Tak akan ada kritik jika kebijakan pemerintah diatas kepentingan rakyat bukan? Mengapa tiba-tiba pemerintah anti kritik seperti ini? Bukankan pemerintah mengandi kepada rakyat, tapi saat rakyat mencoba bersuara malah ditangkap.

Mengkritik pemerintah Jokowi mnejadi sangat menakutkan. Jika tidak ditangkap ya hilang tanpa jejak seperti aktivis pendahulu kita. Kritik yang ditujukan kepada pemerintah tentu dengan berbagai alasan, bukan tanpa dsaar apa-apa. Kebanyakan mereka juga dari kalangan akademis, karena masyarakat awam tentu bingung mau bicara kepada siapa karena ocehan rakyat kecil pasti tidak didengar.

Sekarang apa saja bisa dilaporkan dengan dalih pencemaran nama baik. jika pemerintah tidak mau dikritik mau jadi apa? Kebijakannya tentu akan berpihak pada mereka yang punya uang. Rakyat kecil hanya bia menjerit tanpa bisa berbuat banyak.

Kebebasan berendapat tak lagi dapat dirasakan. Jika tidak mau ikut pemerintah bisa masuk bui. Negeri ku sedang sakit, bukan demokrasi lagi yang dijunjung tinggi. Masyarakat dihantui rasa takut karena tak lagi bebass menyuarakan isi hatinya.

Sebelumnya Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa jangan anti kritik, tapi kenyataanya semua pengkritik pemerintah ditangkap terutama kalangan aktivis mahasiswa dan HAM serta jurnalis. Kritik memang keras, tapi membangun untuk kebaikan. Harusnya pemerintah bisa berkaca mengapa banyak kritik pedas yang dialamatkan kepadanya, agar dapat berhati-hati dalam mengambil sikap dan tidak asal tangkap.

Kedepannya diharapkan pemerintah tidak lagi membungkam kritik dengan alasan pencemaran nama baik. Semua boleh mengktitik pemerintah asal dengan hati-hati agar tidak mudah masuk bui.

(dikutip dari berbagai sumber)

Wahyu Lelyana, April 2020


Komentar